Minggu, 20 November 2016

PENDIDIKAN KARAKTER DAN ETNOPEDAGOGI SEBAGAI BEKAL GENERASI MUDA UNTUK MENGHADAPI MEA

17.53 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments
PENDIDIKAN KARAKTER DAN ETNOPEDAGOGI SEBAGAI BEKAL GENERASI MUDA UNTUK MENGHADAPI MEA
Oleh Tyas Siti Nur Asiyah (Pendidikan Sosiologi/2)

Kini masyarakat Asia Tenggara akan dimudahkan dalam sektor ekonomi karena sekarang ini telah ada pasar bebas di bidang permodalan, barang, jasa dan tenaga kerja dengan tujuan meningkatkan stabilitas ekonomi di kawasan negara-negara ASEAN melalui AEC (Asean Economic Community) yang dicanangkan berlangsung pada akhir tahun 2015. AEC merupakan bentuk  kerjasama baru antara negara-negara di kawasan ASEAN yang bertujuan untuk meningkatkan sektor perekonomian dan stabilitas politik serta keamanan. AEC yang terdiri dari  gabungan negara-negara di Asia Tenggara ini sepakat melakukan integrasi ekonomi berupa rancangan implementasi serangkaian peraturan dan kebijakan khusus yang bertujuan untuk meningkatkan pertukaran barang maupun faktor produksi antarnegara. AEC 2015 ini diikuti oleh 10 negara yaitu Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Laos, Kamboja dan Vietnam. Sebagai negara yang telah bergabung dengan AEC, maka Indonesia wajib dan harus siap untuk menghadapi AEC sehingga di Indonesia dikenal istilah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Sehubungan dengan adanya MEA ini maka Indonesia harus meningkatan sumber daya manusia yang memadai sehingga mampu dan juga berani untuk bersaing di lingkup MEA.
MEA diharapkan mampu menyokong kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh negara ASEAN dengan berlandasakan pada 3 (tiga) pilar yaitu politik keamanan (politico-security cooperation), kerjasama ekonomi (economic cooperation) dan kerja sama sosial budaya (sosial-cultural cooperation). Namun jika ditilik lebih mendalam dengan adanya MEA ini dianggap kurang menguntungkan bagi negara-negara yang masih harus “merangkak” dalam sektor ekonomi dan teknologinya seperti Indonesia. Bukannya MEA menjadi jalan untuk meningkatkan sektor ekonomi namun malah membuat Indonesia terpuruk di rumah sendiri. Mengingat adanya kebebasan dalam sektor ekonomi ini membuat pekarja asing juga memiliki hak yang sama untuk bekerja di Indonesia karena adanya MEA ini yang pada akhirnya mengakibatkan anak bangsa harus bersaing dengan pekerja luar yang jika dibandingkan dengan orang asing dari segi pendidikan dan etos kerja, orang Indonesia sendiri tertinggal, sebab dari hal ini melahirkan pemikiran dibenak masyarakat Indonesia bagaimana cara bertahan hidup di era MEA seperti sekarang ini.
Bila mencoba untuk membuka mata mengenai realitas yang ada saat ini bahwa sumber daya manusia Indonesia belum mampu bersaing secara optimal di pasar. Ini bisa dilihat dari indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Dalam indeks pembangunan manusia tahun 2014 tidak berubah pada posisi 108 dari 187 negara di dunia semenjak tahun sebelumnya, kemudian Singapura (9), Brunei Darussalam (30), Malaysia (62) dan Thailand (89) dan diikuti oleh negara-negara lain seperti Myanmar (150), Laos (139), Kamboja (136), Vietnam (121) dan Filipina (117). Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar Indonesia berada di urutan ke-6 di ASEAN dan ke-69 di dunia. Hal ini menunjukan masih rendahnya partisipasi pendidikan dan tingkat kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja.
Data lain yang menunjukan bahwa Indonesia harus berkerja keras dalam menghadapi MEA ini bahwa dari total angkatan kerja menurut badan pusat statistik Indonesia pada tahun 2013 dalam satuan juta orang terdapat 118,19 angkatan kerja namun yang bekerja 110,80 dan pengangguran 7,39. Sehingga prosentase tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) 66,90% dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 6,25%. Artinya ada lowongan kerja yang tidak dapat terisi yang pada umumnya diakibatkan oleh rendahnya tingka pendidikan dan tidak sesuainya keahlian pencari kerja. Selain itu daya saing tenaga kerja Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina karena menurut Asian Productivity Organization (APO) dari setiap 1000 tenaga kerja Indonesia hanya sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6% dan singapura 34,7%. Data-data tersebut menjadi pertimbangan bagi Indonesia, siapkah Indonesia untuk menghadapi MEA?
Indonesia sendiri dikenal dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah yang mampu mengalahkan Malaysia dan Singapura. Namun hal ini belum terwujud karena Indonesia masih kekurangan tenaga kerja ahli dan terdidik serta kurangnya penguasaan teknologi. Kelemahan yang dihadapi oleh Indonesia tersebut akan menjadi sasaran empuk bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya Indonesia dengan biaya yang murah. Sehingga dalam hal ini peran generasi muda sangat dibutuhkan. Generasi muda Indonesia dituntut lebih kreatif, yang tidak hanya mampu berfikir secara kognitif namun juga harus bisa berfikir kreatif. Hal signifikan yang dapat dilakukan adalah menjadi generasi muda yang tidak hanya mengejar nilai dan terpaku pada kepentingan pribadi tetapi juga situntut untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan yang mendukung Indonesia di kancah internasional sehingga dengan begitu Indonesia akan menjadi lebih eksis dan berdampak pula pada kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri kelak dikemudian hari.
Dalam hal ini pendidikan memegang peranan penting dalam membangun sumber daya manusia  yang kompetitif dan mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu untuk menghadapi MEA maka pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil dalam menghadapi tantangan serta perubahan yang tejadi di era sekarang ini. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan termasuk kedalam negara multikultural hendaknya pendidikan Indonesia mampu mengangkat kearifan-kearifan lokal bangsa Indonesia sebagai bekal generasi muda untuk memiliki jiwa kompetitif yang berdasarkan pada budaya tempat mereka tinggal selain itu pula pentingnya pendidikan karakter bagi para generasi muda sehingga ketika mereka mendapatkan pendidikan karakter dan juga pengetahuan tentang kearifan lokal yang ada akan mampu menciptakan generasi muda yang kreatif, kompetitif dan mampu bersaing berbasis pada kearifan lokal yang ada sebagai modal untuk menghadapi persaingan luar yang ketat.
Generasi muda saat ini hendaknya dipersiapkan sedini mungkin untuk menghadapi tantangan-tantangan global yang ada, seperti siswa SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi hendaknya mendapat persiapan yang sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Kepada generasi muda ini hendaknya tidak hanya memikirkan tentang bagaimana mendapat nilai yang tinggi akan tetapi harus mulai sadar akan pentingnya keterampilan yang harus dimiliki di era modern seperti sekarang ini. Generasi muda Indonesia saat ini harus sadar akan pentingnya soft skill terutama dalam kemampuan berbahasa dan bakat-bakat individu. Tanpa melupakan hard skill yang juga memiliki peranan bagi kehidupan dan karirnya kelak. Hard skill merupakan kemampuan yang dimiliki berdasarkan bidang yang didalaminya, dengan kata lain hard skill adalah keterampilan teknis. Sehingga hard skill dan soft skill harus dikuasai generasi muda untuk mendapatkan kair yang lebih baik.
Karakter merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang, yang mana karakter merupakan cara berpikir dan perilaku yang menunjukkan ciri khas dari seseorang dan bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggung jawab dengan apa yang menjadi keputusannya, sehingga soft skill bisa dibangun dan dikembangkan. Oleh karena itu pengembangan soft skill melalui pelatihan tidak jauh beda dengan apa yang sekarang dikenal dengan pengembangan karakter bangsa. Jadi konsep soft skill adalah karakter. (Marzuki.2012.Pengembangan Soft Skill berbasis Karakter melalui pembelajaran IPS Sekolah Dasar)
Generasi muda yang memiliki soft skill akan lebih siap dalam menghadapi persaingan pada era MEA. Karena menurut hasil penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan oleh peranan ilmu sebesar 18%, sisanya 82% dijelaskan oleh keterampilan emosional soft skill dan jenisnya. Dunia kerja menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. Susilo Bambang Yudhoyono (Masaong.2012. Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelligence.) mengemukakan bahwa pada waktu menjadi Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa ada lima agenda utama pendidikan nasional, yaitu (1) pendidikan dan pembentukan watak (character building), (2) pendidikan dan kesiapan menjalani kehidupan, (3) pendidikan dan lapangan kerja, (4) membangun masyarakat berpengetahuan, (5) membangun budaya inovasi. Sehingga pendidikan karakter penting untuk diberikan kepada generasi muda untuk menjadikan generasi muda sebagai manusia yang cerdas, jujur, tangguh dan peduli. Karena keempat hal tersebut beralasan untuk menjadi kunci sukses. Ketika seseorang memiliki kecerdasan maka ia akan bisa memilih  mana yang baik dan buruk. Kecerdasan itu kemudian harus diimbangi dengan kejujuran agar mendapat kepercayaan orang lain. Sedangkan tangguh perlu dimiliki di era MEA karena lingkupnya bukan hanya Indonesia tetapi persaingan terjadi antara negara-negara ASEAN. Dan memiliki sikap yang peduli tak kalah pentingnya, karena dengan kepedulian kepada orang lain maka akan mudah untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Soft skill menjadi begitu penting karena didalamnya terdapat kepemimpinan, pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, komunikasi, kreatifitas, kemampuan presentasi, kecerdasan emosional, interitas, komitmen dan kerja keras, serta kerendahan hati dan kepercayaan diri. Hal-hal tersebut merupakan bekal yang harus dimiliki oleh generasi muda untuk mampu bertahan dan berkompetisi dalam MEA. Implementasi pendidikan karakter ini dapat dilakukan melalui upaya pemerintah memasukan pendidikan karakter sedini mungkin pada kurikulum yang akan dijalani oleh para peserta didik agar sedini mungkin juga mereka akan melatih soft skill yang mereka miliki sehingga semakin hari soft skill mereka akan terasah dan mampu membangun jiwa kompetetif di benak generasi muda.
Contoh kecil dari penguatan karakter ini dapat ditemui pada trilogi pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Dalam ing ngarso sung tulodho generasi muda diajarkan bahwa bila menjadi pemimpin wajib menjadi suri tauladan bagi semua. Dalam ing madya mangun karso mendorong generasi muda untuk dapat proaktif berbaur dan memotivasi dalam lingkungan belajarnya guna meningkatkan kualitas pendidikan dan tentunya kualitas peserta didik seperti setia kawan, kompetisi, kreatif, inovasi, dan analisis. Dan dalam tut wuri handayani memerdekakan generasi muda untuk mengembangkan kreatifiasnya dan mampu menjadi pamong membina dari belakang bukan hanya sekedar mendikte.
Dengan demikian pelaksanaan pendidikan karakter bagi generasi muda dapat melalui tiga jalur yaitu (1) penerapan pendidikan karakter dalam kurikulum sehingga diimplementasikan pada saat proses pembelajaran; (2) pemberian pendidikan karakter dengan kegiatan-kegiatan terprogram dan terstruktur, sebagai contoh kegiatan pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), tutorial pendidikan agama, pelatihan kreatifitas (creativity training), pelatihan kepemimpinan (leadership training), dan pelatihan kewirausahaan (entrepreneurship training); (3) melalui kegiatan ekstrakulikuler yang mana dengan kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat dan kegemaran peserta didik. Perlu dingat bahwa dalam pendidikan karakter ini hal yang kemudian menjadi penting adalah aktor-aktor yang berperan dalam menanamkan karakter ini hendaklah benar-benar memberikan pendidikan karakter terhadap peserta didik dalam hal ini guru, orang tua dan masyarakat sekitar ikut berperan dalam mendidik karakter generasi muda, yang hendaknya semua kooperatif dalam memberikan pendidikan karakter dan mendukung setiap pembangunan dan penguatan karakter yang sedang dilakukan oleh setiap individu. Orang tua misalnya dapat mulai mengajarkan kepemimpinan dan tanggung jawab sebagai salah satu aspek soft skill kepada setiap anaknya agar sedari kecil dimulai dengan rumah sebagai lingkungan pertama individu tinggal, keterampilan tersebut mulai terasah yang kemudian diimbangi peranan masyarakat sekitarnya yang memberi dukungan terdapat pembangunan karakter. Dan sebagai generasi muda seharusnya dimulai sejak dini mengikuti ekstrakulikuler ataupun keorganisasian dan program-program khusus pengembangan soft skill. Mengingat bahwa soft skill mampu dikembangkan maka pengembangan itu harus dimulai sedini mungkin dan lingkungan sekitar mendukung terhadap pengembahan karakter yang ada. Kegiatan yang dapat dicoba yakni dengan mengikuti kepramukaan sebagai ekstrakulikuler ataupun organisasi ataupun komunitas bakat yang sesuai.
Yang kemudian menjadi hal penting lainnya untuk menghadapi MEA adalah kejelian untuk menggali kearifan lokal Indonesia untuk menjadi modal dalam menghadapi MEA. Dalam hal ini etnopedadogi memiliki peranan untuk memberikan warna baru pada MEA melalui pendidikan yakni mengangkat kearifan-kearifan lokal bangsa Indonesia yang mampu berfungsi sebagai sumber ataupun acuan bagi penciptaan baru misalnya dalam hal seni, kuliner, tata masyarakat, teknologi maupun kebiasaan hidup. Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa dan daerah yang luas juga pasti memiliki kekayaan budaya yang mampu menjadi daya tarik untuk menghadapi MEA. Namun dalam hal ini diperlukan kejelian generasi muda terhadap budayanya sendiri untuk lebih dikembangkan. Etnopedagogi sendiri memiliki peran untuk membentuk generasi muda yang nantinya akan bersikap dan mengimplementasikan kearifan lokal yang ada sebagai modal mereka dalam bertindak, mengambil keputusan dan berkompetisi. Karena etnopedagoi adalah praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan dan sistem penanggalan. Guru sebagai pemeran etnopedagogi dalam penerapannya di tingkat sekolah hendaknya terlebih dahulu mengimplementasikan kearifan lokal yang ada seperti yang dilakukan di negara Jepang bahwa dalam mengajar harus memasukan kearifan lokal yang ada. Dengan soft skill yang telah dimiliki dan terdapat kreatifitas didalamnya, kemudian kearifan lokal yang diberikan pada dunia pendidikan akan menjadi bahan segar bagi masyarakat mancanegara karena akan menonjolkan ciri khas dari negara Indonesia yang mampu menjadi daya tarik pada era MEA sekarang yang dituntut adanya selalu berinovasi dan kreatifitas anggota MEA untuk menciptakan peluang dan menaikan sektor ekonomi. Seperti trilogi pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara menjadi salah satu contoh kearifan yang mampu kita gunakan untuk menghadapi MEA dalam hal sikap dan pembangunan karakter. Seperti etos kerja masyarakat padang untuk mencari rejeki dengan selalu bersemangat dan pantang menyerah juga mampu digunakan etosnya untuk menghadapi MEA dan menumbuhkan jiwa kompetitifnya. Sehingga ketika generasi muda telah memiliki soft Skill maka hal lain yang dapat membantu dalam menghadapi MEA adalah objek apakah yang mampu menjadi daya tarik pada era sekarang. Maka kembali pada bangsa Indonesia sendiri yang kaya sumber daya alam dan budayanya maka kearifan lokal mampu menjadi daya tarik yang didapat melalui etnopedagogi sehingga ketika soft skill dipadukan dengan kearifan lokal, maka akan menjadi modal yang cukup bagi generasi muda menghadapi MEA karena selain bertujuan untuk mempertahankan hidup dengan memperhatikan kearifan lokal generasi muda juga telah berpartisipasi untuk melestarikan kearifan lokal yang ada sebagai warisan dari leluhur bangsa Indonesia yang kemudian dengan pengoptimalisasian kreasi ini maka akan membawa masyarakat Indonesia menjadi lebih terdepan dengan dibandingkan negara ASEAN lainnya dan lebih terampil serta kreatif tanpa melupakan aspek kognitif didalamnya. Dengan adanya soft skill dan hard skill yang dimiliki generasi muda ditambah dengan pengetahuan kearifan lokal yang diberikan oleh pendidikan karakter dan etnopedagogi maka bangsa Indonesia akan siap menghadapi MEA dan bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam AEC (Asean Economic Community).

0 komentar:

Posting Komentar