Karinding
yaitu sebuah alat yang pada mulanya digunakan sebagai alat untuk mengusir hama
dikarenakan karinding menghasilkan bunyi decibel rendah (ultrasonik). Karinding
terbuat dari pelepah daun enau atau bambu. Cara memainkannya yaitu dengan
pukulan jari tangan (telunjuk) dan rongga mulut sebagai resonatornya.[1] Namun
karena karinding menghasilkan bunyi yang mampu menghasilkan irama sehingga
karinding termasuk kedalam alat musik. Menurut Enoch (2006) karinding merupakan
alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. Alat ini bentuknya kecil
namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama
seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa
karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian
rupa dengan karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang
dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga
terlihat menjulur seperti lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan
suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan,
yang diatur adalah rongga mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.[2]
Alat
karinding ini diperkirakan telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa
ahli sejarah sunda berpendapat bahwa alat musik ini berasal dari kebudayaan
yang ada pada zaman kerajaan padjajaran. Sulit dilacak kapan pertama kali
karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber tertulis yang
meyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu tinjauan pernah
dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat, Kawit,
tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping berkembangnya
musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari
daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 – 5.000 SM)
sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang
sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik
dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau
genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan
tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia
sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan,
perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus. Untuk di Banten sendiri karinding ada
sekitar 300 tahun yang lalu. Namun karinding ini menurut orang tua sekarang
pertama kali punah sekitar tahun 1953 karena kalah esksistensinya dengan radio.
Pada
zaman dahulu karinding selain digunakan untuk membasmi hama karinding juga
digunakan sebagai alat musik pergaulan. Dikatakan sebagai alat musik pergaulan
karena pada zaman dahulu karinding dimainkan oleh pemuda-pemudi ketika
berkumpul ataupun sengaja untuk mengisi waktu luang mereka. Selain itu
karinding juga dikenal sebagai alat musik pemikat wanita. Konon pada zaman
dahulu lelaki yang memainkan karinding memiliki stratifikasi yang tinggi dalam
hal musikalitas jika dikorelasikan dengan zaman sekarang karinding bagaikan
gitar yang biasanya digunakan lelaki untuk merayu wanita. Lelaki yang hendak
mengunjungi rumah wanita pujaannya biasanya membawa karinding dan memainkan
karinding ketika bertemu dan bercengkrama dengan wanita yang ia puja. Dan
wanita juga menilai lelaki dari alunan musik karinding yang dibawakan oleh sang
lelaki. Hal ini diperkuat dengan adanya kisah dari Tasikmalaya. Kisah ini
merupakan kisah jajaka kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya.
Dalam syairnya “karinding ti Citamiang” penyair Nazaruddin Azhar mengisahkan
kembali cerita yang dituturkan oyon Noraharjo tentang Kalamanda. Nun dahulu
kala, di kampung Citamiang, Pasir Mukti, ada dalam kekuasaan kerajaan Galuh. Di
kampung ini tersebutlah seorang jejaka tangguh bernama kalamanda tang merupakan
cucu dari Raja Kerajaan Tengah atau Galuh. Terkisah Kalamanda ingin memikat
Sekarwati yang menggunakan karinding sebagai alat untuk memikatnya dan mampu
membuat pesaingnya yang lain tersingkir. Kalamanda memiliki ide membuat
karinding karena berdasarkan hasil konsultasi dengan kakeknya. Sehingga
kalamanda kemudia bertapa untuk memohon petunjuk untuk mendapatkan Sekarwati.
Akhirnya Kalamanda mendapat petunjuk untuk membuat sejenis alat musik yang
suaranya mampu mencerminkan perasaan cintanya yang dalam bagi sang pujaan.
Segala bentuk dicoba sampai akhirnya terciptalah alat yang sangat sederhana
terbuat dari pelepah kawung (aren) kering. Kemudian dimainkanlah karinding itu
secara diam-diam pada malam hari di dekat jendela bilik Sekarwati dan
memainkannya dengan sepenuh cinta. Suara yang menyentuh sanubari itu membuat
Sekarwati hampir tertidur. Kisah kalamanda ini menjadi bukti bahwa karinding
sebagai alat musik pemikat wanita yang pada saat itu juga karinding dijadikan
simbol perlawanan terhadap tradisi pingit yang dianggap tradisi kontra
produktif bagi kaum muda zaman dahulu sehingga pemuda dan pemudi terinspirasi
untuk meniru apa yang dilakukan Kalamanda dan Sekarwati. Kisah lain mengenai
karinding sebagai alat musik pemikat wanita juga muncul dalam kisah Ki Slenting
yang menggunakan karinding untuk memikat wanita, bukan hanya satu wanita tetapi
banyak wanita. Kisah ki Selenting pernah dikisahkan Yoyo Dasriyo dalam artikel
berjudul “Karinding Menggelinding, Mengiring Ki Selenting” (kompas Jawa Barat,
4/7/2010). Selain itu karinding juga digunakan sebagai musik pengiring doa
karena suara yang dihasilkan memiliki kesan yang sejuk untuk mengiringi dalam
pembacaan doa seperti tahlilan, muludan, khaulan ataupun acara memanjatkan puji
syukur.
Adapun cara memainkan karinding terlebih dahulu perlu mengetahui bagian-bagian
karinding. Karinding terdiri dari tiga bagian tempat memegang karinding (pancepengan), jarum tempat keluarnya
nada disebut ekor kucing (cecet ucing) dan pembatas jarum serta bagian ujung
yang disebut pemukul (panenggeul).[3]
Jika bagian pemukul ditabuh, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika
dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi
tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup
buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas. Seperti ketika kita melihat
ayam yang sedang bertelur jika diganggu ia akan mengeluarkan suara dengan
rongga leher yang membesar, kurang lebih itu satu contoh yang dapat kita
pelajari dari ayam bertelur untuk melihat bentuk rongganya. Sehingga karinding
tidak dimainkan seperti halnya alat musik tiup biasa, tetapi karinding akan
menghasilkan suara saat dikatupkan di bibir pemainnya dan digetarkan pada ruas
pertama sehingga tercipta resonansi suara. Karinding ini dapat dimainkan secara
solo, maupun duet atau grup. Selain itu karinding dapat dikolaborasi dengan
alat musik yang lain baik alat musik yang terbuat dari bambu seperti celempung
air dapat juga di padukan dengan gitar. Pertunjukan karinding ini juga bukan
hanya ditampilkan secara pagelaran musik saja tetapi dapat juga ditampilkan
dalam sebuah drama musikal. Pada saat membuat karinding orang tua dahulu tidak
sembarangan dalam menggunakan bahan yang akan digunakan untuk membuat karinding
yaitu pelepah aren yang jenisnya pelepah aren apu atau pelepah aren putih begitupun
dengan bambu, bambunya yaitu bambu bitung, bambu hitam, dan bambu haur yang
benar-benar sudah tua karena hasilnya akan lebih bagus dibandingkan dengan
bambu yang muda, dikarenakan bambu yang muda jika dibuat karinding nantinya
akan mengalami penyusutan bentuk.
Dalam memainkan karinding terdapat
falsafah karinding yang diperkenalkan oleh Bah Entang seorang tokoh karinding
yang berasal dari Cicalengka yaitu “Sabar, Sadar, Yakin”. Falsafah ini lahir
sejauh yang mampu para pemain karinding terdahulu pahami dalam karinding. Makna
sabar yaitu sabar dalam memainkan karinding karena dalam memainkan karinding diperlukan
kesabaran jika ketika bermain karinding tidak dapat menghasilkan suara.
Selanjutnya sadar, artinya bahwa ketika memainkan karinding harus dalam keadaan
sadar tidak sedang dalam pengaruh obat-obatan terlarang ataupun alkohol. Dan
yang terakhir yakin yaitu bahwa harus memiliki keyakinan bahwa kita mampu
memainkan karinding dengan baik.
Kehadiran karinding di tengah
masyarakat sunda tak jauh dari kebudayaan agraris dan kedekatan masyarakat
sunda dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman
yang memberikan manfaat pada banyak kegiatan masyarakat Indonesia termasuk
dalam hal kebudayaan. Bahan bambu ini melahirkan karya seni sebagai sarana
pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai
pandangan hidup, juga sebagai alat musik dan kesenian. Bentuk karinding yang
dibuat menyesuaikan selera pembuat misalnya laki-laki biasanya pada zaman
dahulu bentuk karindingnya lebih pendek agar dapat masuk di tempat tembakau
sedangkan perempuan bentuk karindingnya lebih panjang agar dapat ditusukan di
sanggul rambut mereka tutur ki Sueb. Hadirnya karinding ini juga di
latarbelakangi pada mata pencaharian masyarakat Indonesia yang rata-rata
sebagai petani dan tak kadang berternak. Untuk mengisi waktu luang dalam menjalani
kegiatan itu maka orang tua dahulu menciptakan karinding untuk melepas penat
mereka dan menghilangkan kejenuhan ketika sedang beristirahat di sawah ataupun
menunggu hewan ternak yang sedang digembala.
Di Kampung Jaha sendiri karinding
dahulu banyak digunakan oleh kaum muda-mudi untuk menghibur diri sendiri
ataupun merayu lawan jenisnya, karinding di kampung Jaha terbuat dari bahan
pelepah aren dan dalam penggunaannya permainan musik biasanya dibarengi dengan
celempung petik khas Balaraja. Menurut Ki Jahawan lelaki yang juga sebagai
pemain karinding di kampung Jaha, karinding juga menuturkan karinding juga
digunakan pada saat mereka sedang berada di sawah ketika sedang beristirahat
ketika selesai bertani, dahulu ketika sedang beristirahat di sawah laki-laki
yang bertani berkumpul bersama dan memainkan alat musik karinding bersama-sama.
Ada juga yang memainkankannya diatas kerbau sambil berteduh dibawah pohon.
Karena dahulu sawah Jaha sangat luas dan belum terpisahkan oleh jalan tol maka
pemain karinding itu tidak hanya dari kampung jaha semata tapi mereka yang
berasal dari kampung lain pun yang bertani di daerah dekat kampung jaha seperti
almarhum mang Domba yang berasal dari kampung Kosambi yang juga pemain
karinding.
[1]
Oktavia Fitria. Pembelajaran Karinding
Vol.1 No.3, Desember 2013 : 1-7 hlm 4.
[2]
Atmadibrata, Enoch. 2006. Khasanah Seni
Pertunjukan. Jawa Barat. Bandung : DISBUDPAR.
[3]Setiawan
Muhammad Irvan. Yulianita Neni. Proses
komunikasi dalam Sosialisasi Pelestarian Kesenian Kariding (studi Deskriptif
Mengenai Proses Komunikasi Dalam SosialisasiPelestarian Karinding Oleh Abah
Olot) Vol.2 . No 3 November 2015 :
33-39. hlm 34
0 komentar:
Posting Komentar