Kamis, 24 November 2016

Mengenal Tentang Musik Tradisional Karinding

13.24 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments

Karinding yaitu sebuah alat yang pada mulanya digunakan sebagai alat untuk mengusir hama dikarenakan karinding menghasilkan bunyi decibel rendah (ultrasonik). Karinding terbuat dari pelepah daun enau atau bambu. Cara memainkannya yaitu dengan pukulan jari tangan (telunjuk) dan rongga mulut sebagai resonatornya.[1] Namun karena karinding menghasilkan bunyi yang mampu menghasilkan irama sehingga karinding termasuk kedalam alat musik. Menurut Enoch (2006) karinding merupakan alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. Alat ini bentuknya kecil namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.[2]
Alat karinding ini diperkirakan telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa ahli sejarah sunda berpendapat bahwa alat musik ini berasal dari kebudayaan yang ada pada zaman kerajaan padjajaran. Sulit dilacak kapan pertama kali karinding hadir di masyarakat Sunda karena tak ada sumber tertulis yang meyebutkan secara pasti kapan waditra ini mulai ada. Satu tinjauan pernah dibuat Ragil Soeripto dan dimuat dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat, Kawit, tahun 1992, “Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa di samping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia tahun 1000 SM, bahkan yang jauh sebelumnya (10.000 – 5.000 SM) sudah ada suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain menyerupai karinding (Pasundan) atau rinding atau genggong (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau Bali Ginggung.” Dari kutipan tersebut, waditra bambu sejenis karinding sebenarnya sudah hadir di Indonesia sejak 10.000 – 5.000 SM, namun tentang keberadaan karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus. Untuk di Banten sendiri karinding ada sekitar 300 tahun yang lalu. Namun karinding ini menurut orang tua sekarang pertama kali punah sekitar tahun 1953 karena kalah esksistensinya dengan radio.
Pada zaman dahulu karinding selain digunakan untuk membasmi hama karinding juga digunakan sebagai alat musik pergaulan. Dikatakan sebagai alat musik pergaulan karena pada zaman dahulu karinding dimainkan oleh pemuda-pemudi ketika berkumpul ataupun sengaja untuk mengisi waktu luang mereka. Selain itu karinding juga dikenal sebagai alat musik pemikat wanita. Konon pada zaman dahulu lelaki yang memainkan karinding memiliki stratifikasi yang tinggi dalam hal musikalitas jika dikorelasikan dengan zaman sekarang karinding bagaikan gitar yang biasanya digunakan lelaki untuk merayu wanita. Lelaki yang hendak mengunjungi rumah wanita pujaannya biasanya membawa karinding dan memainkan karinding ketika bertemu dan bercengkrama dengan wanita yang ia puja. Dan wanita juga menilai lelaki dari alunan musik karinding yang dibawakan oleh sang lelaki. Hal ini diperkuat dengan adanya kisah dari Tasikmalaya. Kisah ini merupakan kisah jajaka kalamanda sebagai pencipta karinding di Tasikmalaya. Dalam syairnya “karinding ti Citamiang” penyair Nazaruddin Azhar mengisahkan kembali cerita yang dituturkan oyon Noraharjo tentang Kalamanda. Nun dahulu kala, di kampung Citamiang, Pasir Mukti, ada dalam kekuasaan kerajaan Galuh. Di kampung ini tersebutlah seorang jejaka tangguh bernama kalamanda tang merupakan cucu dari Raja Kerajaan Tengah atau Galuh. Terkisah Kalamanda ingin memikat Sekarwati yang menggunakan karinding sebagai alat untuk memikatnya dan mampu membuat pesaingnya yang lain tersingkir. Kalamanda memiliki ide membuat karinding karena berdasarkan hasil konsultasi dengan kakeknya. Sehingga kalamanda kemudia bertapa untuk memohon petunjuk untuk mendapatkan Sekarwati. Akhirnya Kalamanda mendapat petunjuk untuk membuat sejenis alat musik yang suaranya mampu mencerminkan perasaan cintanya yang dalam bagi sang pujaan. Segala bentuk dicoba sampai akhirnya terciptalah alat yang sangat sederhana terbuat dari pelepah kawung (aren) kering. Kemudian dimainkanlah karinding itu secara diam-diam pada malam hari di dekat jendela bilik Sekarwati dan memainkannya dengan sepenuh cinta. Suara yang menyentuh sanubari itu membuat Sekarwati hampir tertidur. Kisah kalamanda ini menjadi bukti bahwa karinding sebagai alat musik pemikat wanita yang pada saat itu juga karinding dijadikan simbol perlawanan terhadap tradisi pingit yang dianggap tradisi kontra produktif bagi kaum muda zaman dahulu sehingga pemuda dan pemudi terinspirasi untuk meniru apa yang dilakukan Kalamanda dan Sekarwati. Kisah lain mengenai karinding sebagai alat musik pemikat wanita juga muncul dalam kisah Ki Slenting yang menggunakan karinding untuk memikat wanita, bukan hanya satu wanita tetapi banyak wanita. Kisah ki Selenting pernah dikisahkan Yoyo Dasriyo dalam artikel berjudul “Karinding Menggelinding, Mengiring Ki Selenting” (kompas Jawa Barat, 4/7/2010). Selain itu karinding juga digunakan sebagai musik pengiring doa karena suara yang dihasilkan memiliki kesan yang sejuk untuk mengiringi dalam pembacaan doa seperti tahlilan, muludan, khaulan ataupun acara memanjatkan puji syukur.
            Adapun cara memainkan karinding  terlebih dahulu perlu mengetahui bagian-bagian karinding. Karinding terdiri dari tiga bagian tempat memegang karinding (pancepengan), jarum tempat keluarnya nada disebut ekor kucing (cecet ucing) dan pembatas jarum serta bagian ujung yang disebut pemukul (panenggeul).[3] Jika bagian pemukul ditabuh, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas. Seperti ketika kita melihat ayam yang sedang bertelur jika diganggu ia akan mengeluarkan suara dengan rongga leher yang membesar, kurang lebih itu satu contoh yang dapat kita pelajari dari ayam bertelur untuk melihat bentuk rongganya. Sehingga karinding tidak dimainkan seperti halnya alat musik tiup biasa, tetapi karinding akan menghasilkan suara saat dikatupkan di bibir pemainnya dan digetarkan pada ruas pertama sehingga tercipta resonansi suara. Karinding ini dapat dimainkan secara solo, maupun duet atau grup. Selain itu karinding dapat dikolaborasi dengan alat musik yang lain baik alat musik yang terbuat dari bambu seperti celempung air dapat juga di padukan dengan gitar. Pertunjukan karinding ini juga bukan hanya ditampilkan secara pagelaran musik saja tetapi dapat juga ditampilkan dalam sebuah drama musikal. Pada saat membuat karinding orang tua dahulu tidak sembarangan dalam menggunakan bahan yang akan digunakan untuk membuat karinding yaitu pelepah aren yang jenisnya pelepah aren apu atau pelepah aren putih begitupun dengan bambu, bambunya yaitu bambu bitung, bambu hitam, dan bambu haur yang benar-benar sudah tua karena hasilnya akan lebih bagus dibandingkan dengan bambu yang muda, dikarenakan bambu yang muda jika dibuat karinding nantinya akan mengalami penyusutan bentuk.
            Dalam memainkan karinding terdapat falsafah karinding yang diperkenalkan oleh Bah Entang seorang tokoh karinding yang berasal dari Cicalengka yaitu “Sabar, Sadar, Yakin”. Falsafah ini lahir sejauh yang mampu para pemain karinding terdahulu pahami dalam karinding. Makna sabar yaitu sabar dalam memainkan karinding karena dalam memainkan karinding diperlukan kesabaran jika ketika bermain karinding tidak dapat menghasilkan suara. Selanjutnya sadar, artinya bahwa ketika memainkan karinding harus dalam keadaan sadar tidak sedang dalam pengaruh obat-obatan terlarang ataupun alkohol. Dan yang terakhir yakin yaitu bahwa harus memiliki keyakinan bahwa kita mampu memainkan karinding dengan baik.
            Kehadiran karinding di tengah masyarakat sunda tak jauh dari kebudayaan agraris dan kedekatan masyarakat sunda dengan kayu dan bambu. Dua bahan ini terutama dianggap sebagai tanaman yang memberikan manfaat pada banyak kegiatan masyarakat Indonesia termasuk dalam hal kebudayaan. Bahan bambu ini melahirkan karya seni sebagai sarana pengantar upacara-upacara ritual, pergaulan, hiburan, pengungkapan nilai-nilai pandangan hidup, juga sebagai alat musik dan kesenian. Bentuk karinding yang dibuat menyesuaikan selera pembuat misalnya laki-laki biasanya pada zaman dahulu bentuk karindingnya lebih pendek agar dapat masuk di tempat tembakau sedangkan perempuan bentuk karindingnya lebih panjang agar dapat ditusukan di sanggul rambut mereka tutur ki Sueb. Hadirnya karinding ini juga di latarbelakangi pada mata pencaharian masyarakat Indonesia yang rata-rata sebagai petani dan tak kadang berternak. Untuk mengisi waktu luang dalam menjalani kegiatan itu maka orang tua dahulu menciptakan karinding untuk melepas penat mereka dan menghilangkan kejenuhan ketika sedang beristirahat di sawah ataupun menunggu hewan ternak yang sedang digembala.
            Di Kampung Jaha sendiri karinding dahulu banyak digunakan oleh kaum muda-mudi untuk menghibur diri sendiri ataupun merayu lawan jenisnya, karinding di kampung Jaha terbuat dari bahan pelepah aren dan dalam penggunaannya permainan musik biasanya dibarengi dengan celempung petik khas Balaraja. Menurut Ki Jahawan lelaki yang juga sebagai pemain karinding di kampung Jaha, karinding juga menuturkan karinding juga digunakan pada saat mereka sedang berada di sawah ketika sedang beristirahat ketika selesai bertani, dahulu ketika sedang beristirahat di sawah laki-laki yang bertani berkumpul bersama dan memainkan alat musik karinding bersama-sama. Ada juga yang memainkankannya diatas kerbau sambil berteduh dibawah pohon. Karena dahulu sawah Jaha sangat luas dan belum terpisahkan oleh jalan tol maka pemain karinding itu tidak hanya dari kampung jaha semata tapi mereka yang berasal dari kampung lain pun yang bertani di daerah dekat kampung jaha seperti almarhum mang Domba yang berasal dari kampung Kosambi yang juga pemain karinding.


[1] Oktavia Fitria. Pembelajaran Karinding Vol.1 No.3, Desember 2013 : 1-7 hlm 4. 
[2] Atmadibrata, Enoch. 2006. Khasanah Seni Pertunjukan. Jawa Barat. Bandung : DISBUDPAR.
[3]Setiawan Muhammad Irvan. Yulianita Neni. Proses komunikasi dalam Sosialisasi Pelestarian Kesenian Kariding (studi Deskriptif Mengenai Proses Komunikasi Dalam SosialisasiPelestarian Karinding Oleh Abah Olot) Vol.2 . No 3  November 2015 : 33-39.  hlm 34

0 komentar:

Posting Komentar