Minggu, 20 November 2016

KELEMBAGAAN ADAT DAN KEBUDAYAAN ADAT KASEPUHAN CITOREK BANTEN KIDUL

17.48 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments
   Kelembagaan Sosial di Desa Citorek
 Leuit merupakan salah satu kelembagaan sosial yang berada di Desa Citorek. Leuit dalam bahasa Indonesia adalah lumbung padi atau gudang padi yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau tihang, yang fungsi utamanya sebagai penampung padi hasil pertanian supaya mampu menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama, dari wujud fisiknya leuit adalah sebuah bangunan panggung yang sangat sederhana, baik bentuk dan bahan bangunan dalam pembuatannya. Pada masyarakat adat leuit tidak hanya berfungsi sebagai  lumbung atau gudang padi melainkan menjadi suatu yang lebih penting dalam aktivitas pertanian, sebab itu leuit masih tetap bertahan dan dipertahankan oleh masyarakat adat hingga saat ini.
Dikalangan masyarakat adat khususnya citorek terdapat banyak leuit hampir setiap penduduknya memiliki leuit, keberadaan leuit menjadi bagian utama dari kehidupan masyarakat citorek sebagai masyarakat petani. Leuit yang terdapat dimasyarakat citorek terdapat dua jenis, yaitu:
1.    Leuit Jimat
Leuit jimat adalah lumbung atau gudang padi yang dihasilkan dari sawah tangtung, (sawah tangtung adalah sawah adat), yang dimana hasil padi sawah tangtung dijadikan untuk upacara adat atau yang disebut seren tahunan (Rengkong) adat yang memiliki arti rasa syukur dan terimakasih atas melimpahnya hasil panen.
2.    Leuit Pribadi
Leuit pribadi adalah lumbung atau gudang padi yang berbeda dengan leuit jimat yang padinya dihasilkan dari sawah khusus, leuit pribadi itu leuit yang dimiliki oleh masyarakat pribadi yang dihasilkan dari sawah pribadi dan setiap masyarakat citorek mempunyai leuit masing-masing yang bertujuan untuk tempat penyimpanan padi sebagai cadangan padi dalam jangka`waktu yang lama.

Leuit merupakan wujud konkret dari ketahanan pangan masyarakat adat citorek, karena sistem pertanian citorek menanam padi hanya sekali dalam setahun, yang tentunya harus mempunyai cadangan pangan.

Kebudayaan wewengkon adat kasepuhan citorek  
   Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta karsa manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dilakukan secara turun-temurun. Masyarakat wewengkon adat Kasepuhan Citorek merupakan masyarakat yang berbudaya yang memiliki kekhasannya tersendiri. Adapun kebudayaan pada masyarakat Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek yaitu :
1.    Sistem peralatan dan teknologi
1)    Alat-alat Produktif terdiri dari Garu (alat membajak sawah), sogol,  arit,  pacul, kored, golok, garfu, etem, heurap, keucrik, badodon, sosog, buwu diuk, buwu ngedeng, aseuk, berok (keramba ikan), halu, lisung, hihid, paningur kawung, gonggo sadapan, hawu, sigai, belehem dan lain-lain.
2)    Senjata Produktif terdiri dari Golok, tombak, bedil locok, kayu aseuk, jiret, dan lain-lain.
3)    Wadah terdiri dari Sahid, nyiru, boboko, ruas, tolok, korang, upih, dulang, sair, kaneron awi, kaneron konyonyod, jolang, jaliken, lodong, termos, lantayan, leuit (lumbung padi, ketahanan pangan), pangbeasan, goah, cariuk hoe, cariuk kalapa, cege, kanyut kunang, se’eng, aseupan, dan lain-lain.
4)    Makanan dan Minuman
a)    Makanan khas masyarakat kasepuhan citorek yaitu ranginang; opak bodas; opak beureum; opak kakacangan; uli; dodol; ula bereum; peyeum ketan hideung; cimplung; gegetuk taleus; gegetuk sampeu; carucub; sasagon, pasung bodas; pasung beureum; awub; wajik ketan; wajik ketok; santri mleng; bubur sumsum; congcot; papais gula; papais ketan; papais cau; palakeder; bubur sair; humut kaung; humut pait; reuneu; dan lain-lain.
b)    Minuman khas masyarakat kasepuhan citorek yaitu amisan kawung, lahang kawung.
5)    Pakaian
Biasanya pakaian yang digunakan untuk Laki-laki adalah ikeut, sarung, kampret, komprang, jamang. Dan untuk perempuan menggunakan samping rereng, konde, kabaya. Namun sekarang ini masyarakat sudah jarang menggunakan kebaya akan tetapi samping masih digunakan oleh masyarakat perempuan.
6)    Tempat Berlindung dan Perumahan
pada zaman dulu di wewengkon adat kasepuhan citorek memiliki hal yang unik yaitu arah rumah yang diatur oleh adat berjajar menghadap ke arah kiblat sebagai symbol agama Islam. Lalu semua rumah yang ada di kasepuhan ini berbentuk panggung. Namun hal tersebut sudah tidak berlaku lagi dikarenakan adanya warga yang menentang untuk pembangunan rumah yang mengharuskan semuanya menghadap kiblat dengan alasan luas lahan tidak mencukupi. Kemudian karena adanya pengaruh modernisasi yang masuk maka rumah-rumah di kasepuhan pun mulai berubah menjadi rumah-rumah permanen. Akan tetapi masih banyak juga ditemukan bangunan-bangunan yang bermodelkan panggung, karena mereka masih mempertahankan adat. Adapun bangunan-bangunan adat yang ada di kasepuhan citorek yaitu :  
a)    Imah jero adalah Rumah panggung yang beratapkan rumbia berlapis ijuk aren, dindingnya terbuat dari bilik dan beralaskan palupuh. Rumah tersebut berada diujung kampung paling timur dan dikelilingi pagar kayu. Untuk memasuki imah jero ini tidak bisa sembarang masuk, apabila ingin masuk harus mendapatkan izin dari kasepuhan atau hanya orang-orang tertentu saja.
b)    Imah Geude adalah rumah panggung yang berguna untuk tempat tinggal keluarga kasepuhan selama kasepuhan tersebut masih menjabat sebagai oyok (ketua kasepuhan)
7)    Alat Transportasi
Pada zaman dulunya transportasi yang digunakan di kasepuhan citorek menggunakan kuda dan gerobak akan tetapi sekarang ini sudah tidak lagi menggunakan transportasi tersebut melainkan sudah mengikuti perkembangan zaman yaitu menggunakan mobil, motor ataupun sepeda.
Budaya Panen
Sebelum melakukan panin (memetik) padi di Sawah, biasanya masyarakat menunggu keputusan Oyok Timur/oyok Girang (pemangkua adat) sebagai pimpinan adat di Wewengkon Citorek Oyok Timur. Oyok mempunyai wewenang kapan harus dimulainya panen itu sendiri dan keputusan itu pun merupakan hasil dari gotrasawala (musyawarah mufakat) dengan seluruh petinggi adat lainnya (demokrasi). Saat panin, maka padi yang pertama kali di petik adalah padi di “Sawah Tangtu” milik Oyok. Sebelum ada petunjuk dari kasepuhan masyarakat tidak boleh melakukan panen/memetik padi yang sudah siap panen. Sebelum memetik padi di sawah biasanya dilakukan upacara adat, yakni ‘salamet mipit’. Jika segala sesuatunya telah siap dan telah ada perintah untuk memetik padi di sawah dari Kasepuhan, maka barulah masyarakat mulai memanen padi di sawahnya masing-masing.
Masa panin di Citorek merupakan kejadian yang dinanti-nantikan oleh masyarakat banyak. Bukan hanya masyarakat Citorek, akan tetapi termasuk masyarakat luar Citorek itu sendiri baik daerah timur, barat, selatan, dan daerah utara Citorek. Biasanya mereka bersama-sama datang ke Citorek untuk ikut memanen padi. Mereka ‘masyarakat luar Citorek’ banyak yang mengatakan bahwa dengan ikut dalam kegiatan panin di Citorek artinya ikut menikmati berkah padi hasil tani Citorek. 
Tradisi yang melekat pada Masyarakat Wewengkon Citorek jika panin tiba, yaitu membeli tudung parade baru “topi khas Citorek” yang biasanya dipakai saat memetik padi (tudung hasil kerajinan tangan masyarakat setempat), membuat lantayan padi. Membeli baju/pakaian baru (bagi yang mampu), membeli tolok (alat untuk menyimpan heucak (padi yang tidak layak panen) dan etem (ani-ani) baru. Hal tersebut sudah menjadi turun-temurun yang hingga kini masih di pertahankan.
Padi yang sudah dipetik yang masih bentuk keupeulan disimpan di lantayan untuk beberapa saat hingga kering dan tiba masa Ngunyal (mengangkut). Apa bila sudah saatnya masa ngunyal, maka padi yang masih bentuk ‘keupeul’ digabung sebanyak tiga (3) menjadi satu yang disebut ‘pocong’. Saat melakukan penggabungan padi ‘keupeul’ menjadi padi ‘pocong’, orang yang melakukan pekerjaan itu biasanya disebut mocong. Suguhan atau pupulur bagi yang ‘mocong’ adalah berupa nasi ketan, lengkap dengan kelapa hasil ‘nguhkur’ dan uraban gula aren. Jika pekerjaan mocong sudah selesai maka padi diangkut untuk dimasukkan ke dalam leuit (lumbung). Prosesi ini disebut Ngunyal, dan sebagai pupulur atau lauh bagi mereka yang bekerja dan membantu adalah berupa hidangan Nasi Ketan.
Apabila proses di atas telah usai, maka untuk memulai menggunakan padi yang baru dipanin untuk makan sehari-hari ataupun dijual. Biasanya  harus mengadakan selamatan ‘mipit nganyaran’ terlebih dahulu sebagai wujud rasa syukur kepada Gusti Anu Maha Suci atas hasil panin yang berkah, melimpah, dan bermanfaat.
Cara penggarapan sawah yaitu dimulai dari sawah tangtu. Sawah tangtu adalah sawah komunal adat wewengkon Kasepuhan Citorek. Penggarapan sawah tangtu ini dilakukan oleh masyarakat adat yang diatur oleh Jaro Adat melalui Kepala Desa untuk bergotong royong dan hasilnya digunakan untuk kegiatan atau kebutuhan adat. Sebelum dimulainya penggarapan sawah dilakukan musyawarah Kasepuhan mengenai waktu yang tepat untuk mulai asup leuweung (penggarapan sawah dan huma, berkebun atau bercocok tanam lainnya). Musyawarah Asup leuweung tersebut satu paket dengan seren taun. Setelah selesai pengolahan sawah tangtu, masyarakat baru mulai menggarap sawahnya masing-masing. Berikut disajikan tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.    Ngagalenganan/Mopog : Membetulkan/merapikan pembatas atau pematang sawah yang menjadi batasdengan sawah yang lainnya.
2.     Macul                  : Macul menyangkut macul badag dan macul alus disawah.
3.    Nyogolan             : Meratakan seluruh permukaan sawah tanah (bagian sawah) yang belum rata.
4.    Musyawarah Titib Binih : Musyawarah Baris Kolot untuk menentukan waktu tebar.
5.    Tebar/Sebar: Menumbuhkan bibit padi pada persemaian atau pabinihan (membibitkan awal)
6.    Cabut : Mengambil bibit di pabinihan atau tempat persemaian untuk ditandur atau di tanam
7.    Tanur : Menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar.
8.    Ngoyos 1/ngaramet       : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.
9.    Babad      : Membersihkan rumputan atau tanaman pengganggu di pematang Sawah atau galengan.
10. Ngoyos 2 : Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.
11.  Mipit         : Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen.
12. Dibuat      : Panen mengambil / memetik tanaman padi yang sudah matang.
13. Ngalantay/moe   : Menjemur padi setelah dipanen di atas lantayan.
14. Ngunyal   : Mengangkut padi dari lantayan/sawah setelah dipocong. Pocong merupakan gabungan tiga ikat atau kepeul padi menjadi satu yang disebut pocong.
15. Asup Leuit           : Memasukan padi yang sudah kering dari jemuran/lantayan.
16. Nganyaran          : Selamatan untuk padi yang baru dipanen, dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut.
17.  Badamian Seren Taun            : Musyawarah untuk acara seren taun.


0 komentar:

Posting Komentar