Rabu, 23 November 2016

ESENSIALISME DAN PENDIDIKAN

20.21 Posted by TyasSiti Nur Asiyah No comments
Pemikiran Esensialisme dalam Pendidikan
Menurut aliran essensialisme,  dalam Redja Mudyaharjo (2010: 160) mengemukakan bahwa “Nilai-nilai yang terpandang  sebagai warisan budaya/sosial terbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan bersusah payah selama beratus-ratus tahun dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita dalam keluhuran waktu” Artinya liran ini memandang mengenai nilai-nilai yang luhur yang merupakan warisan dari budaya terdahulu, serta nilai-nilai tersebut harus dipertahankan sebab telah teruji keluhuran/kebai niliakannya. Memang dalam kehidupan nilai-nilai warisan budaya terdahulu tidak serta merta dihapus semua karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman saat ini, namun ada nilai-nilai dari warisan budaya yang harus dipertahankan sebab hal itu juga termasuk kebanggaan  dalam masyarakat tersebut dan menjadi identitas bagi suatu masyarakat, bahka menjadi suatu kearifan lokal. Hal tersebit didukung oleh alirabn filsafat pendidikan essensialisme yang beranggapan bahwa manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, hal ini karena kebudayaan lama itu telah banyak membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk manusia (Muhmidayeli, 2011: 167), jadi filsafatpendidikan esensialisme ini menekankan bahwa pendidikan perlu dibangun dengan nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil. Dengan hal ini arus globalisasi yang kuat diharapkan manusia indoenesia tidak kehilangan jati dirinya sebagai manusia Indonesia yang benar-benar mencintai budayanya.
Landasan Filosofis Esensialisme
Aliran ini mamandang bahwa manusia selalu bergerak dan berkembang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal. Hukum universalah yang mengatur keseleruhan makrokosmos yang meliputi benda-benda, energi, ruang dan waktu bahkan pikiran manusia (Muhmidayeli, 2011: 168). Artinya manusia diapandang baik jika mematuhi nilai-nilai/ hukum tersebut. pemikian tersebut dipengaruhi oleh filsafat idealism. Kemudian esensialisme yang juga memandang bahwa  manusia memperoleh ilmu pengetahuan karena menggunakan pancaindranya dalam menanggapi realitas yang ada. Manusia menggunakan pancaindranya dalam memperoleh pemahaman pada keadaan lingkungannya, atau berinteraksi dengan lingkungan sehingga terbangun pemahamannya mengenai lingkungan sekitarnya. Dengan pemahannya tersebut manusia dapat membangun pengentahuan-pengetahuan sehingga timbul ide baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkuangannya. Jadi aliran essensialisme I berpendapat bahwa sumber pengetahuan terletak pada kesedaran jiwa terhadap alam semest dan menggunakan kemampuan indrawinya dalam memahami lingkungan serta mengolah informasi-informasi yang didapat melalui kemampuan Indrawinya.
Aliran ini juga memandang menganai hakikat manusia tentang makna pendidikan, yaitu anak/pesertadidik harus mengugunakan kebebasannya, dan ia memrlukan disiplin orang dewasa/pendidik untuk membantu dirinya dalam sebelum dirinya dapat mendisiplinkan dirinya (Redja Mudyahardjo, 2010: 162). Artinya seorang peserta didik membutuh bantuan dari pendidik agar hidupnya lebih terarah dan  teratur, sebab peserta didikjuga termasuk mahluk sosial, dan semau manusia pada hakekatnya adalah mahluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Maka dalam hal ini diperlukan pendidik yang berkompetensi dalam hal tersebut agar anak didiknya benar-benar mampu mengoptimalkan potensi dirinya dan mengarah dirinya ke tatanan hidup yang baik.
Kemudian dalam (Redja Mudyahardjo, 2010: 162)  generasi muda perlu belajar untuk mengembangkan dirinnya setinggi-tingginya dan kesejahteraan sosial. Generasi muda meruapakan pewaris generasi sebelumunya, nasib suatu pradaban juga terlatak pada kualitas diri generasi mudanya, maka generasi muda memang harus mengoptimalkan potensi dirinya, tentu mengoptimalkan/mengembangkan disini dalam arti positif. Mnegembangkan tidak hanya bersifat intelektual belaka, namun juga melibatkan sikap mental. jadi jika manusia dapat mengelola pikirannya, mental dan sikapnya ke arah yang lebih baik sehingga hidupnya menjadi bermakna dan tenteram maka manusia tersebut dianggap sejahtera. Menurut apa yang dipelajari oleh penulis, makna kesejahteraan sosial tidak dikur oleh kekayaan tatepai penulis memandang kesejahteraan itu dikukur apa bila manusia dapat mengeloa jiwa dan akalnya dengan baik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diyakinanya. Sebab belum tentu orang yang berharta memilki ketenangan hati.
Pandangan Esensialisme Terhadap Pendidikan
Bagi penganut Esensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan tersebut telah teuji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan adalah esensial yang mempu mengemban hari, kini dan masa depan umat manusia.
1.      Tujuan pendidikan
Pendidikan bertujuan menyampaikan kebudayaan  dan sejarah melalui inti pengatahuan yang telah tehimpun dan bertahan sepanjang waku dan dengan demikian berharga untuk semua orang. Jadi yang dimaksud disini adalah nilai-nilai budaya pilihan yang telah teruji dari waktu ke waktu (Redja Mudyahardjo, 2010: 163). Dengan demkian arah dan tujuan pendidikan menjadi lebih jelas. Sebab aliran ini merupakan suatu kritik terhadap aliran progresivisme yang memandang pendidikan yang fleksibel, sehingga bisa saja tidak memilki pondasi yang kua/kukuh serta arah pendidikan yang belum jelas. Kemudian tujuan pendidikan menurut aliran esensialisme dikuti oleh keterampilan, sikap, nilai-nilai yang tepat agar mebentuk unsur pendidikan yang tepat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai-nilai yang diterapkan berupa nilai-nilai pilihan yang telah teruji kebaikanny.a dari waktu-ke waktu.
2.      Metode Pendidikan
Pendidikan berpusat pada pendidik (Redja Mudyahardjo, 2010: 163),  dalam hal ini sebenarnya lebih cocok/tepat pada pedagogik, tidak semua pendidikan yang terencana cocok menerapkan konsep pendidikan yang terpusat pada guru. Dalam konsep andragogik pesertadidik dianggap sebagai pusat belajar. Dalam aliran ini memandang bahwa peserta didik belum mampu mengeditenfkasikan kebutuhannnya sendiri maka dalam belajar peserta didik harus dituntun dan diarahkan secara tegas. Kemudian metode utamanya adalah latihan mental, misalnya pesertadidik diasah dengan diberikan tugas, diskusi, penguasaan materi (Redja Mudyahardjo, 2010: 163). Dengan ini peserta didik daharapkan dapat mengumpulkan ilmunya dan mengkontruksi ilmunya sehingga terbentuk suatu gagasan-gagasan untuk bertahan serta mneyesuaikan diri di lingkungannya.
3.      Kurikulum
Kurikulum di sekolah dasar harus berntikan pada tiga kemampuan dasar (membaca, menulis, dan berhitung). Aliran ini menghendaki agar proses pendidikan berjalan efektif dengan memberikan pelajaran yang pokok (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 11-12).  Memberikan pelajaran yang pokok-pokok maksudnya pelajaran yang diberikan sesuai dengan perkembangan Ilmu dan peradaban yang ada. Kemudian Redja Mudyaharjo dan Waini Rasyidin dalam (Dwi Siswoyo dkk, 2011: 12) mengemukakan bahwa aliran esensialisme menerapkan evaluasi dengan pendekatan penilaian acuan (PAP) dan menganut belajar tuntas. Belajar disini ditergetkan untuk  mencapai standar yang tinggi .
4.      Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk rasional dalam penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang siap siaga melakukan latihan-latihan intelektif (Redja Mudyahardjo, 2010: 164). Peserta didik disini merupakan objek dari pendidikan sifatnya menerima apa yang diajar oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum mampu mengidentifikasikan dirinya.
5.      Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam proses belajar (Redja Mudyahardjo, 2010: 164). Pendidik berperan sebagai mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan agar  mampu  melaksanakan  perannya sebagai pengarah  proses belajar. Adapun secara moral guru haruslah orang berakhlak baik yang dapat dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam pengawaln nilai-nilai.Dengan demikian inisiatif  dalam  pendidikan  ditekankan  pada  guru,  bukan  pada peserta didik.

Daftar Pustaka
1. Jalaludin, dan  Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.Jakarta:         PT Raja Grafindo Persada
2. Mudyaharjo, Redja. 2010.  Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


0 komentar:

Posting Komentar